Sejak Lengser, Teka-Teki Soeharto-Habibie Tak Pernah Bertemu Hingga Akhir Hayat

RETAKNYA hubungan BJ Habibie dengan Soeharto terjadi di masa-masa terakhir lengsernya penguasa Orde Baru.

Tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto memanggil Wakil Presiden BJ Habibie ke kediamannya di Jalan Cendana Jakarta. Pukul 19.30 Habibie tiba di Cendana. Soeharto hendak membahas nama-nama menteri Kabinet Reformasi yang akan dilantik keesokan harinya, 21 Mei.

Malam itu, Soeharto juga menyampaikan berencana mengundang pimpinan DPR/MPR ke Istana Merdeka tanggal 23 Mei. Kepada Habibie, Soeharto menyatakan, ia bermaksud menyampaikan kepada pimpinan DPR/MPR untuk mengundurkan diri sebagai presiden setelah Kabinet Reformasi dilantik.

Benak Habibie berkecamuk malam itu. Dalam buku yang menceritakan masa-sama peralihan Orde Baru ke Era Reformasi, Detik-detik yang Menentukan, Habibie menulis, “Namun yang menjadi pertanyaan saya saat itu adalah, Pak Harto sama sekali tidak menyampaikan salasan mengapa beliau mundur. Padahal baru sajha disusun Kabinet Reformasi, bahkan setelah melalui dialog yang cukup seru. Demikian pula Pak Harto sama sekali tidak menyinggung mengenai kedudukan Wakil Presiden selanjutnya.”

Bagi Habibie, saat Soeharto menyampaikan keinginan mundur sebagai presiden namun tak membahas posisi wakil presiden, menimbulkan banyak pertanyaan. Habibie sempat berpikir, bahwa Soeharto mungkin ingin dirinya ikut mundur. Terlebih seperti ditulis dalam buku Detik-detik yang Menentukan, menurut Habibie, saat Soeharto bertemu sejumlah tokoh masyarakat pada tanggal 19 Mei, pernyataan Soeharto seolah meragukan kemampuannya.

Dalam pertemuan malam itu, Habibie sempat terdiam di hadapan Soeharto. Namun pikirannya yang tetap berkecamuk akhirnya tak bisa menahan untuk bertanya. “Pak Harto, kedudukan saya sebagai Wakil Presiden bagaimana?” tanya Habibie.

Pak Harto spontan menjawab, “Terserah nanti. Bisa hari Sabtu, hari Senin atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden.” (Detik-detik yang Menentukan, halaman 37).

Jawaban tersebut ternyata memang justru menimbulkan lagi banyak kecamuk di benak Habibie. Dia berpikir mengapa Soeharto ingin terjadi kevakuman kekuasaan setelah mengundurkan diri.

Kembali ke rumahnya di Kuningan, Habibie semakin tak tenang. Tanggal 21 Mei dini hari, sekitar pukul 01.00, Habibie masih belum kunjung beristirahat. Dia masih mengikuti perkembangan gerakan massa melalui tv dan internet di ruang kerjanya. Saat itu Ainun muncul dan mengingatkan agar Habibie segera tidur.

Mengikuti saran Ainun, Habibie sempat berganti baju tidur. Namun matanya tak bisa terpejam. Obrolan anggota pasukan pengamanan yang berjaga di bawah jendela kamar tidur, terdengar Habibie.

Tak ingin mengganggu istrinya, Habibie pelan-pelan beranjak dari tempat tidur. Dia menutup guling dengan selimut, agar istrinya menganggap Habibie masih berbaring di sampingnya.

Dari kamar tidur, Habibie menuju ruang kerja dan menyusun catatan mengenai langkah-langkah awal, dan kebijakan dasar serta prinsip yang harus segera diambil. Beberapa catatan yang dipikirkan malam itu, mengantarkan Habibie menjadi presiden yang mengantar Indonesia menuju alam demokrasi.

Sebagai mana ditulis Habibie dalam buku Detik-detik yang Menentukan tersebut, langkah-langkah tersebut antara lain adalah :

  1. Saya mewarisi bentuk institusi kepresidenan yang sangat berkuasa dalam lingkungan dan budaya feodal. Hal ini harus segera saya akhiri, tanpa memberi kesan yang dapat disimpulkan sebagai “penguasa” yang lemah dan takut.
  2. Tahanan politik harus segera saya lepaskan dan tidak boleh lagi terjadi bahwa orang yang bertentangan dengan pendapat atau rencana Presiden, harus dimasukkan ke dalam penjara.
  3. Kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan unjuk rasa harus segera dilaksanakan.
  4. DPR dan MPR harus diberi legitimasi yang kuat berdasarkan pemilu yang demokratis. Dan kesempatan terbuka untuk mendirikan partai politik asa saja asal tidak melanggar UUD 45 dan Ketetapan MPR
  5. Sidang Istimewa MPR harus segera diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya untuk memberi dasar hukum bagi reformasi dan pemilu yang dibutuhkan. Hanya dengan demikian, suatu revolusi dan khaos, yang bisa memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat dicegah.

Beberapa catatan tersebut, akhirnya mengantarkan Habibie menjadi Presiden Indonesia yang membawa negara ini ke era demokrasi. Habibie membuka peluang bagi terselenggaranya pemilu demokratis yang diikuti secara bebas oleh partai politik. Habibie membuka kran kebebasan pers. Habibie pula yang memberikan amnesti dan pembebasan bagi tahanan politik di masa Orde Baru.

Namun, Soeharto masih enggan berjumpa dengan Habibie. Bahkan hingga akhir hayatnya, Soeharto yang sudah menganggap Habibie seperti anak sendiri itu tidak sekali pun bertemu Mr Crack itu.

Dalam buku Pak Harto The Untold Stories, mantan Kepala Protokol Istana zaman Soeharto, Maftuh Basyuni, membeberkan kisah tersebut. Maftuh kala itu menjadi penyampai pesan dari Habibie di Istana ke Soeharto di Cendana, Jakarta Pusat.

“Sejak Pak Harto berhenti, beberapa kali saya datang ke Cendana untuk menyampaikan permintaan BJ Habibie yang ingin bertemu dengan Pak Harto,” ucap mantan Menteri Agama di era Presiden SBY itu.

Banyak yang tidak menduga terkait dengan kerenggangan hubungan antara Presiden Soeharto dan BJ Habibie, sesaat setelah Soeharto melepaskan jabatannya.

Bahkan, BJ Habibie pun salah sangka karena tidak pernah menduga, Soeharto akan memberikan jawaban yang membuat dirinya terhenyak.

“Pak Harto jangan begitu, saya juga manusia, saya punya perasaan,” katanya, melalui percakapan telepon untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya dengan Presiden Soeharto, setelah dia meletakkan jabatannya.

Kisah yang mengharukan di antara Presiden Soeharto dan BJ Habibie diceritakan sendiri oleh BJ Habibie dalam sebuah wawancara yang disiarkan di sejumlah televisi.

Dalam sebuah wawancara di layar kaca, yang videonya viral, terungkap alasan sebenarnya, Presiden Soeharto menolak pertemuannya dengan BJ Habibie.

Hal itu terjadi saat Presiden Soeharto meletakkan jabatan sebagai presiden dan menyerahkannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie.

Berbagai versi kisah yang berkembang di balik putusnya hubungan Presiden Soeharto dan Presiden BJ Habibie diwarnai dengan berbagai prasangka.

Selain itu, ada juga yang dibumbui dengan aneka kabar bohong di balik kisah kedua orang yang sukses memimpin Indonesia tersebut.

Kepemimpinan BJ Habibie sebagai seorang presiden memang singkat, tapi hal tersebut bukan alasan bahwa dirinya tidak sukses, saat menahkodai bahtera Indonesia yang sangat besar.

“Saya penghabisan bicara dengan Pak Harto dilakukan pada bulan Juni, saat ulang tahunnya.”

“Saya menjadi presiden tanggal 20 Mei 1998, Pak Harto ulang tahun tanggal 9 Juni,” katanya.

BJ Habibie mengenang kisah percakapan melalui telepon yang semua katanya masih diingat.

“Saya minta Menhankam Pangab, Pak Wiranto untuk menghubungkan saya dengan Pak Harto, tanggal 9 Juni.”

“Saya melalui telepon, saya sampaikan, Pak Harto, saya butuh masukan, Pak Harto lengser, saya mau tahu, data-data yang detail.”

“Kalau Anda gubernur digantikan orang lain, ada timbang terima, walau upacara tidak dibacakan, tapi ada bahan-bahannya,” katanya.

BJ Habibie menyatakan, dirinya adalah seorang manusia, sehingga dia berharap, tidak diperlakukan seperti itu oleh Presiden Soeharto, yang memutus hubungan.

Justru, kata BJ Habibie, Soeharto tegas menjawabnya agar tidak ada hubungan atau pertemuan antara BJ Habibie dan Soeharto.

BJ Habibie bertanya, mengapa demikian?

“Merugikan kita,” kata Soeharto tegas.

Menurut penafsiran BJ Habibie, merugikan kita itu bukan merugikan Soeharto dan BJ Habibie.

“Bukan merugikan Pak Harto dan Habibie, kita ini kita bangsa Indonesia karena saya kenal Pak Harto,” katanya.

Terkait dengan apa ruginya jika dua pemimpin itu bertemu dan menghapus banyak spekulasi yang berkembang.

“Ruginya karena diadu domba.”

“Dia kan orang yang sangat bijaksana dan tahu lapangan, lebih tahu dari Habibie.”

BJ Habibie kemudian mengungkapkan pesan Soeharto kepada dirinya.

“Begini, kamu selesaikan masalah-masalah yang kamu hadapi.”

“Saya jadi emosional, saya mengatakan, Pak Harto, yang benar saja dong, saya juga manusia, punya perasaan, mengapa saya tidak bisa bertemu dengan Pak Harto,” katanya.

Namun, BJ Habibie sudah tahu, keluhannya itu tidak akan mengubah sosok Soeharto yang dikenal tegas dan pantang mundur.

“Kemudian, dia bilang, Habibie, saya tahu, kamu anak yang soleh.”

“Kamu, solat 5 kali sehari, saya juga.”

“Tapi, kamu harus tahu 1, tiap kali, saya solat, Habibie,” kata Soeharto.

“Saya doa untuk kamu, supaya kamu selamat dan sukses.”

BJ Habibie kehabisan kata-kata saat mendapatkan pernyataan tersebut.

“Laksanakan tugasmu,” kata Soeharto pada BJ Habibie terakhir kali mereka berhubungan dan tidak pernah bertemu lagi, sejak itu. (*)

Tinggalkan Balasan