Prof. Khairurrijal, Menciptakan Riset Berkelas Dunia Lewat Teknologi Sederhana

BANDUNG-Dua dosen ITB meraih penghargaan sebagai pemenang Anugerah Academic Leader Award 2019 dari Kemenristekdikti RI, Selasa (1/10/2019) di Jakarta. Mereka adalah Prof. Dr. Eng. Khairurrijal M.Si. sebagai pemenang Academic Leader bidang Sains, dan Prof. Dr. Daryono Hadi Tj., Apt., M.Sc. Eng sebagai pemenang Academic Leader bidang Kesehatan.
Salah satu penerima penghargaan tersebut, Prof. Khairurrijal menyampaikan bahwa Academic Leader Award sangatlah dalam maknanya tidak hanya bagi dirinya, melainkan bagi para profesor di perguruan tinggi di Indonesia. 

Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa sekarang pemerintah memberikan perhatian yang lebih baik kepada para profesor yang memiliki komitmen tinggi dalam membangun dan menata kelola laboratorium mereka sehingga dihormati dunia dan mengakar di negeri sendiri dalam rangka mencetak SDM unggul.

“Dihormati dunia dalam konteks ini adalah bahwa laboratorium risetnya memublikasikan hasil-hasil risetnya di jurnal-jurnal internasional terpandang dan dirujuk oleh periset dunia. Di sisi lain, mengakar di negeri sendiri artinya bahwa seorang profesor dan laboratorium risetnya menginspirasi dan memotivasi dosen maupun laboratorium riset lain di dalam negeri untuk berkembang lebih baik,” ujarnya.

Seperti diketahui ada empat aspek yang dipertimbangkan dari pemimpin akademik, yaitu pemimpin akademik harus visioner (visionary), menginspirasi (inspiring), mendorong atau memotivasi (encouraging), dan unggul (excellent). 

“Ini artinya bahwa seorang profesor harus memiliki visi ke depan dalam membangun dan mengelola laboratorium risetnya,” ujarnya. Selain itu, inovasi yang dihasilkan dari riset tersebut dilindungi dengan HKI, baik paten, hak cipta, maupun bentuk-bentuk perlindungan kekayaan intelektual lainnya.

Menghasilkan Riset Bermodal Kertas, Pensil, dan Komputer Biasa

Prof. Khairurrijal adalah Guru Besar pada Kelompok Keahlian Fisika Material Elektronik, FMIPA ITB. Ia bercerita, mulai mulai membangun laboratorium sejak kepulangannya dari Universitas Hiroshima, Jepang, pada 2001. Dalam perjalanannya, banyak kendala yang ditemui terutama dana. Cara sederhana untuk tetap melakukan riset adalah metoda “kertas, pensil, dan komputer biasa”.

“Ini saya telah jalankan sesaat tiba di Indonesia. Kendala peralatan diatasi dengan membuat sendiri peralatan tersebut. Kriteria peralatan yang dibuat sendiri tersebut adalah berharga murah sehingga mudah diperbanyak untuk memenuhi keperluan perguruan tinggi lain. Kriteria lainnya adalah bahwa peralatan tersebut memiliki kebaruan sehingga dapat dipublikasikan di jurnal internasional terpandang dan/atau inovasi yang perlu dilindungi hak kekayaan intelektualnya,” ceritanya.

Bersama para kolega dosen lainnya dan para mahasiswa, pada 2005, Prof. Khairurrijal pertama kali membangun I-V Meter untuk menghasilkan karakteristik arus vs tegangan dari material maupun devais elektronik yang dibuat. Pengembangan peralatan ini telah terbit di jurnal internasional terpandang bernama Measurement Science and Technology pada tahun 2007. Hingga saat ini, I-V Meter telah diperbanyak sejumlah puluhan buah dan tersebar di perguruan tinggi dari Aceh hingga Sulawesi. Meski peralatan ini berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk versi impornya, para peneliti dapat memilikinya dengan hanya puluhan juta rupiah saja.

“Dengan pengalaman dalam pengembangan I-V Meter tersebut, kami telah membuat berbagai peralatan bantu untuk pengajaran. Berbagai pengembangan komputer papan tunggal telah digunakan untuk praktikum para mahasiswa sarjana dan makalahnya telah terbit di jurnal internasional terpandang bernama Computer Applications in Engineering Education. Berbagai pengembangan alat bantu pengajaran fisika juga telah terbit di Physics Education,” sambungnya.

Menciptakan Alat Nanoserat dan Nanopartikel

Selain itu, pada 2007, Prof. Khoirurrijal juga melihat adanya peluang untuk menghasilkan nanoserat dan nanopartikel dengan menggunakan teknik electrospinning dan electrospraying, secara berurutan. Sistem sintesis ini nampaknya lebih mudah dan murah untuk diduplikasi sehingga perguruan tinggi lain di Indonesia dapat juga memilikinya. “Di awal pengembangannya, karena kendala dana, kami telah memulai dengan metode ‘kertas, pensil, dan komputer biasa’,” ujarnya.

Simulasi sintesis nanoserat telah dilakukan. Seiring dengan waktu, ia memeroleh hibah penelitian yang tidak cukup untuk membeli sistem sintesis nanoserat yang tersedia komersial. Ia pun mendesain dan mengembangkan sendiri sistem tersebut.

“Hari ini, sistem sintesis buatan dalam negeri ini telah diperbanyak belasan buah dan tersebar di perguruan tinggi di Sumatera, Jawa, dan Bali. Harganya pun jauh lebih murah dari versi impornya,” jelas Prof. Khoirurrijal.

Dijelaskannya, sampai saat ini sudah cukup banyak publikasi di jurnal internasional terpandang menggunakan sistem sintesis buatan sendiri tersebut. Belasan inovasi terkait sistem sintesis dan hasil sintesis dengan peralatan ini juga telah didaftakan patennya. Selain itu, untuk layanan komersialisasinya, sebuah usaha startup bernama Nachriebe telah dibuat dengan bimbingan LPIK ITB.

Memajukan Sains di Indonesia dan ITB

Sebagai seorang scientist, dia menilai kemajuan sains di Indonesia dapat dilihat dari kemajuan riset dasarnya. Perhatian terhadap riset dasar memang terasa masih rendah namun tetap berjalan maju meski perlahan. Kendati demikian, akhir-akhir ini akselerasi mulai terasa dengan adanya target kinerja dari setiap perguruan tinggi. 

Baginya, strategi menggunakan “kertas dan pensil serta komputer biasa” masih tetap ampuh dalam mengatasi kendala yang dihadapi. Namun demikian, investasi untuk memiliki peralatan standar yang diperlukan dalam melakukan riset harus tetap dilakukan.

Menurutnya, hal utama dalam meningkatkan kemajuan di bidang sains adalah kita harus menumbuhkembangkan budaya akademik yang meliputi sikap, norma, nilai, dan cara berperilaku, belajar, dan bekerja di perguruan tinggi. Kemudian harus menumbuhkembangkan budaya riset yang berlaku di komunitas riset dunia. Selanjutnya adalah harus selalu memiliki informasi terbaru terkait perkembangan riset dunia di bidang masing-masing. 

“Juga kita harus dekat dengan masalah-masalah lokal yang perlu dipecahkan. Sintesis yang memadukan perkembangan riset dunia dan masalah lokal kita sangat mungkin akan meningkatkan pandangan dunia terhadap kita. Selain itu, kolaborasi riset antar peneliti di dalam negeri maupun dengan periset dunia harus juga didorong,” pungkasnya. (rls)

Tinggalkan Balasan