Rumput Imitasi

“Rumput di lapangan itu asli?” tanya saya.

“Asli,” jawab manajer itu.

Ia baru dua tahun bekerja di Manchester City. Di bagian yang antar-antar tamu. “Tapi sejak lahir saya sudah menjadi fans City,” katanya.

Saat itu saya lagi di dalam stadion Manchester City. Lagi duduk di kursi yang biasa diduduki pelatih. Di sisi kiri. Yakni kursi pelatih tim lawan yang lagi bertandang ke City. Seperti pelatih Wolves yang kemarin mempermalukan City 0-2 itu.

Setelah ke stadion-stadion di Inggris ini saya tahu: yang disebut rumput asli itu adalah hybrida.

Gabungan antara rumput asli dan tiruan.

Rumput palsunya bisa ditanam lebih dulu. Atau belakangan. Atau bersamaan dengan rumput asli.

Teknologi penanamannya sangat tinggi.

Panjang rumput imitasi itu 20 cm. Ditanam dengan mesin. Yang dikendalikan oleh komputer –agar tingkat kedalaman penanamannya terkontrol.

Dari 20 cm itu yang tertanam di dalam tanah 18 cm. Yang 2 cm muncul di atas tanah. Rata. Rapi. Indah.

Pun dibuat seperti terbentuk bidang-bidang. Yang dulu saya kira dibentuk oleh sistem pemotongan rumputnya.

Dalam perkembangan berikutnya rumput asli bisa tumbuh lebih kuat. Akarnya melilit-lilit di rumput imitasi itu.

Dengan cara kombinasi ini akar rumput bisa berkembang lebih dalam. Lebih kuat.

Untuk satu lapangan bola diperlukan 20 juta helai rumput imitasi. Yang terbuat dari polypropylene. Sebangsa plastik. Kuat sekali. Juga lentur sekali.

Teknologinya pun terus berkembang. Yang terbaru disebut lay and play. Begitu ditanam langsung bisa dipakai pertandingan bola.

Kini stadion-stadion dengan nama besar sudah menggunakan rumput hybrida.

Saya ke City, rumputnya itu.

Saya ke United, rumputnya itu.

Saya ke Anfieldnya Liverpool juga itu.

Saya ke Leicester juga itu.

Saya ke Chelsea juga itu.

Saya ke Arsenal, sama.

Saya ke Tottenham juga itu.

Klub-klub seperti Madrid, PSG, dan Barcelona juga sama.

Di Asia, stadion di Kairo dan Teheran yang sudah menggunakannya.

Atau juga yang lain lagi –yang saya tidak tahu.

Yang menemukan teknologi itu adalah Desso Sport. Di tahun 1990-an. Perusahaan ini lantas dibeli oleh Tarkett Sports. Rumput jenis itu pun kini diberi nama GrassMaster.

Tentu banyak perusahaan lain yang menawarkan rumput imitasi. Pun tidak hanya untuk lapangan sepak bola.

Bahwa campuran rumput asli masih diperlukan itu semata untuk keamanan pemain. Terutama kiper. Yakni agar kelembutan lapangan tetap menjamin. Agar tidak bisa melukai pemain.

Kesimpulan saya: stadion Tottenham Hotspur-lah yang paling keren. Maklum, terbaru. Stadion Manchester City juga megah. Tapi begitu milik Tottenham jadi semuanya lewat.

Sedang untuk tokonya saya paling suka Leicester. Terasa wow-nya.

Saya pun beli jaket di situ. Saya pakai terus. Sampai ke Sheffield, Leeds, Newcastle, dan seterusnya. Sebelum mencapai Liverpool.

Mengenakan jaket Leicester ada senangnya, ada dukanya. Senangnya adalah: di kota apa pun disapa orang. Yang mengaku asli Leicester. Lalu bisa asyik ngobrol. Tentang apa pun.

Dukanya: saya harus sering minta maaf. Dianggap salah kostum.

Misalnya saat di lift hotel. Langsung saya ditodong: “Anda salah kostum. Yang benar ini”.

Berkata begitu ia pun membuka baju. Di dalamnya ada kaus merah: Manchester United.

Tapi saya suka Chelsea. Stadionnya mudah untuk dicapai.

Suatu saat kita akan ke sana. Entah mana yang akan lebih dulu: prestasinya atau rumputnya. (Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan