Kisah Agen CIA ‘Werner Verrips’ Merampok Bank Indonesia

PADA 4 Desember 1964, seorang Belanda, Werner Verrips, yang mengendarai mobil sport barunya, Mercedes, tewas dalam kecelakaan di jalan bawah dekat Sassenheim, Belanda. Dia dimakamkan di Zeist Nieuwe Begraafplaats, Utrecht, Belanda.

Kematian Verrips mencurigakan. Siapakah dia?

Wartawan Belanda, Willem Oltmans, mengungkapkan bahwa Verrips adalah seorang profesor misterius yang mengancam akan membunuhnya. Dia pun bertanya-tanya, siapakah yang menyuruhnya?

“Apakah CIA, atau dinas rahasia Belanda, atau dia diutus oleh kelompok pejabat militer Indonesia yang tidak menyukai hubungan saya yang akrab dengan Bung Karno,” kata Oltmans dalam Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?

Oltmans bertemu pertama kali dengan Sukarno di Roma, Italia, pada 1956. Dia mewakili koran Belanda, De Telegraaf, namun pemimpin redaksinya melarang meliput Sukarno. Dia tetap menulis artikel panjang di majalah Elseviers, 24 Juni 1956, tentang Sukarno yang membahas soal orang Belanda, sengketa Irian Barat, dan keinginannya berkunjung ke Den Haag untuk mendamaikan Indonesia-Belanda untuk selamanya.

Tulisan itu menggemparkan Belanda. Akibatnya, pemerintah Belanda memasukkan Oltmans dalam daftar hitam dan dinyatakan persona non grata (orang yang tidak disukai). Dia pun pindah ke Amerika Serikat.

“Ternyata dia (Verrips) adalah agen CIA,” kata Oltmans, “yang langsung mengancam saya, bahwa saya harus dilenyapkan bila saya tidak berhenti mencampuri urusan Belanda dengan Indonesia.”

Oltmans kemudian mencari tahu sosok Verrips. Dia pun mendapati bahwa Verrips bersama teman-teman CIA pernah terlibat kasus perampokan bank di Indonesia.

Bungalo milik Werner Verrips. (nationaalarchief.nl).

Javasche Bank cabang Surabaya dirampok pada 20 Desember 1950. Uang yang berhasil digondol maling sebesar Rp4 juta atau sekitar $500.000.

Menurut J. Spruyt dalam Indonesia, an Alternative History of the Timeless Islands, pilihan bank menunjukkan keberanian para perampok. Namun, bila tujuannya uang, nampaknya menimbulkan teka-teki. Sebab, sebagai bank sirkulasi, perputaran uangnya rendah dibandingkan dengan bank-bank dagang, seperti Netherlands Trading Society.

“Sumber uang bagi Indonesia adalah Javasche Bank, dan karena Verrips masih di Indonesia, dia adalah agen yang dipilih untuk mengamankannya. Dia memutuskan untuk merampok Javasche Bank, karena bank milik Belanda ini akan dinasionalisasi dan dijadikan bank sirkulasi,” tulis Spruyt.

Dalam menjalankan perampokan, lanjut Spruyt, Verrips melibatkan beberapa orang: Frank C. Starr, agen CIA di Indonesia; Van Harn, seorang Belanda, tangan kanan Verrips; Paul Spies, seorang Belanda, direktur Javasche Bank Jakarta, dan agen CIA; serta seorang Belanda yang bekerja di Galangan Kapal Angkatan Laut di Surabaya.

Uang hasil rampokannya dimasukkan ke dalam jerigen dan diserahkan kepada tangan kanan Verrips yang tinggal di area Galangan Kapal Angkatan Laut. Uang itu akan dibawa keluar dari Indonesia oleh salah satu fregat Belanda yang masih tersisa di Galangan Kapal Angkatan Laut. Namun, rencana itu berhasil digagalkan.

“Verrips dan kaki tangannya ditangkap,” tulis Spruyt. “Verrips disiksa sampai dia membocorkan tempat persembunyian uang itu.”

Oltmans menyebut Sutikno Lukitodisastro yang menangkap Verrips. “Dia membenarkan bahwa dialah petinggi Polisi Militer yang menangkap Werner Verrips pada tahun 1950 di Jawa dan memenjarakannya,” kata Oltmans. Kolonel Sutikono kemudian menjabat Atase Militer Indonesia di Amerika Serikat.

Sementara itu, segera setelah menerima laporan perampokan bank, Javasche Bank Jakarta mengirim salah satu direkturnya, Paul Spies, ke Surabaya untuk menilai kerugian yang terjadi. “Bagi masyarakat umum hal ini terlihat wajar, tetapi mereka tidak menyadari bahwa Spies juga merupakan agen CIA,” tulis Spruyt. Spies ditugaskan membebaskan orang-orang yang ditangkap, terutama agen CIA, Verrips dan tangan kanannya, Van Harn.

Menurut Spruyt, beberapa bulan setelah seluruh kejadian, Javasche Bank secara resmi menjadi Bank Indonesia. Verrips menghilang secara misterius dari penjara Indonesia. Van Harn menjalani hukuman penjara empat tahun. Sedangkan Paul Spies meninggal di Vietnam dalam tugas lain sebagai agen CIA.

“Van Harn dan Verrips kemudian muncul di Belanda, dan di Belandalah Verrips terbunuh, secara misterius, dalam kecelakaan yang tidak dapat dijelaskan,” tulis Spruyt.

Namun, menurut Oltmans, setelah dipenjara selama beberapa tahun, Verrips pulang ke Belanda dan kembali menekuni pekerjaannya di bidang intelijen. Ketika mengancamnya, dia bagian dari pelobi Belanda dalam sengketa Irian Barat. Dia kawan dekat Paul Rijkens, ketua pelobi, yang digagas oleh Pangeran Bernhard. Rijkens membantu membiayai bungalo Verrips di daerah luar kota. Sampai-sampai Verrips menamai anak keduanya, Paul.

Willem Oltmans (tengah) dan Presiden Sukarno. (Mijn Vriend Sukarno).

Pada suatu hari, Oltmans ditelepon Kolonel Sutikno yang menyampaikan Mayjen TNI S. Parman, Asisten I (Intelijen) Menteri/Panglima Angkatan Darat, ingin berbicara dengannya. Oltmans bertemu Parman di kamar 1040 Hotel Hilton di Madison Avenue, New York, pada 18 Oktober 1964.

“Pada akhirnya, perbincangan kami menyinggung orang CIA bernama Werner Verrips,” kata Oltmans.

Parman membenarkan apa yang dikatakan Verrips kepada Oltmans bahwa mereka sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Bahkan, mereka sempat bertemu di London saat Parman menjabat Atase Militer Indonesia di Inggris.

Verrips juga mengaku kepada Oltmans sebagai teman Letjen TNI Achmad Yani. Namun, Parman membatahnya, “dia pembual. Dia sama sekali tidak mengenal Yani.” Verrips juga membual bahwa “dia akan berkata, bila Anda mau bertemu Pangeran Bernhard, saya bisa mengaturnya dalam waktu lima menit.”

Parman meminta bantuan Oltmans untuk dapat bertemu Verrips. Dengan menggunakan telepon hotel, Oltmans menelepon rumah Verrips di Huister ter Heide, Utrecht, Belanda. Istrinya, Anneke, memberikan nomor tempat Verrips dapat dihubungi. Segera Parman dan Verrips mengobrol lewat telepon. “Tak lama lagi mereka akan bertemu di Belanda, atau mungkin di London,” kata Oltmans.

Kiri-kanan: Mayjen TNI S. Parman, Letjen TNI Achmad Yani, dan Mayjen TNI Ibrahim Adjie. (Repro Ahmad Yani Tumbal Revolusi).

Namun, beberapa hari kemudian, Oltmans menerima telepon penting dari Verrips di apartemennya di Long Island, New York, pada tengah malam. Verrips yang ketakutan mengatakan, “Mereka mengejar saya, saya akan dibunuh.”

Oltmans tercengang. Dia mengira telah mempertemukan dua teman lama. Ketika kembali ke Belanda untuk liburan Natal pada 6 Desember 1964, Oltmans mendengar berita kematian Verrips yang tewas dalam kecelakaan mobil.

“Saya baru tahu bertahun-tahun kemudian bahwa cara melenyapkan agen yang tidak disukai dengan kecelakaan mobil merupakan hal yang biasa dilakukan dalam kedinasrahasiaan,” kata Oltmans.

Oltmans mengunjungi istrinya, Anneke, yang memberondong dengan sejumlah pertanyaan: Apa yang dikatakan Parman di New York mengenai suaminya? Mengapa tiba-tiba dia ingin bertemu dengan suaminya? Anneke melihat adanya hubungan langsung antara keinginan Parman bertemu dengan suaminya dan kematiannya yang mendadak.

Pada awal Januari 1965, Oltmans kembali ke rumahnya di Long Island. Dia kemudian menemui Zairin Zain, Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, yang memberitahukan sesuatu yang mencemaskan bahwa Oltmans juga jadi target.

“Verrips sudah mati, memang benar, tetapi Angkatan Bersenjata Indonesia berniat hendak menghabisi saya juga,” kata Oltmans. Namun, tidak jadi karena “pertemuan saya dengan Parman ternyata berlangsung sangat memuaskan, dan rupanya sang jenderal telah memberi tahu kawan-kawannya di Jakarta, bahwa dia tidak merasakan perlunya membunuh saya.”

Oltmans kemudian terkejut karena Parman menjadi salah satu jenderal yang dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Oltmans sendiri berumur panjang dan menulis banyak buku tentang perjalanan kariernya sebagai wartawan meliput politik dunia. Dia meninggal pada 30 September 2004.

“Saya tidak dapat membuktikannya,” kata Oltmans, “meskipun telah berbicara panjang lebar dengan Jenderal Parman, apakah dia terlibat atau tidak dalam pelenyapan mantan agen CIA, Werner Verrips.” (“)

Tinggalkan Balasan