Amnesty International Indonesia: Penetapan Tersangka Veronica Koman, Kriminalisasi Kemerdekaan Berpendapat

JAKARTA-Veronica Koman dijadikan tersangka oleh aparat kepolisian karena bertindak rasis. Penetapan tersangka ini dianggap bentuk dari kriminalisasi kemerdekaan berpendapat. Dan keputusan Polri menunjukan institusi berbaju cokelat tersebut sereta pemerintah tak paham menyelesaikan masalah di Papua.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, penetapkan tersangka Veronica Koman terkait kasus dugaan provokasi dan hoaks di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur adalah kriminalisasi kemerdekaan berpendapat.

“Amnesty menilai, penetapan tersangka ini merupakan tindakan kriminalisasi terhadap kemerdekaan berpendapat dan keputusan yang menunjukan tak mampunya pemerintah atau aparat menyelesaikan kekisruhan yang terjadi Papua beberapa waktu lalu,” ungkap Usman melalui keterangan tertulis ke Fajar Indonesia Network, Minggu (8/9).

Menurut Usman, peristiwa yang terjadi di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur dilakukan oleh aparat dengan menggunakan kekuatan berlebihan.

“Kasus di Papua kurang lebih dua minggu ini, karena aksi rasisme sesungguhnya dilakukan oleh aparat negara dengan wewenangnya secara berlebihan datang ke lokasi,” tuturnya.

“Kalau tuduhan polisi adalah Veronica memprovokasi, maka pertanyaan yang harus dijawab polisi adalah siapa yang telah terprovokasi untuk melanggar hukum akibat dari postingan Veronica di Twitter tersebut? Justru yang harus menjadi fokus, adalah pada orang-orang yang menghasut mereka yang datang mengepung dan melakukan persekusi diserta tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya,” sambungnya.

Kepolisian, seharusnya dapat memeriksa anggotanya yang menembakkan gas air mata serta mendobrak pintu asrama mahasiswa Papua di Surabaya. “Jadi, menurut saya ini sangat penting sekali bagi polisi untuk mengusutnya,” ucapnya.

Usman menambahkan, apa yang dialami Veronica Koman ini tentu berdampak kepada masyarakat, khususnya terkait pelanggaran HAM di Papua. Sebab membuat mereka takut untuk berbicara, atau menggunakan media sosial dalam rangka mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM di wilayahnya.

“Harusnya tak dijadikan tersangka. Dan jika ada yang tidak akurat dari informasi yang diberikan Veronica sebaiknya, polisi memberikan klarifikasi. Bukan dengan harus mengkriminalisasinya. Selain itu pemerintah pun sebaiknya membuka akses semua pihak agar dapat memverifikasi secara objektif,” terangnya.

Sekali lagi, Polda Jawa Timur harus segera menghentikan kasus tersebut, dan mencabut status tersangka Veronica Koman.

“Kepolisian juga harus pastikan, bahwa jajarannya dapat menghargai kemerdekaan berpendapat di muka umum dan di media sosial, serta tak mudah lakukan proses pengusutan jika ada laporan kemerdekaan berekspresi di masa yang akan datang,” pungkasnya.

Sebelumnya, aparat kepolisian Polda Jatim masih terus memburu Veronica Koman yang diketahui ada di luar negeri dengan bantuan sejumlah pihak termasuk Interpol. Menurut Karopenmas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo,tersangka saat ini di luar negeri, dan masih diburu melibatkan Interpol.

“Status VK kan masih warga negara Indonesia, dan karena keberadaannya di luar negeri, maka dari Interpol akan membantu untuk melacak yang bersangkutan sekaligus, untuk proses penegakan hukumnya. Nanti akan ada kerja sama dengan police to police,” kata Dedi beberapa waktu lalu.

Adapun terkait penetapan tersangka Veronica ini, kata Drdi dilakukan tim penyidik Polda Jatim, usai gelar perkara dan memeriksa sejumlah saksi, seperti tiga orang saksi, tiga orang saksi ahli, dan mengumpulkan bukti-bukti terkait provokasi.

“Di dalam Twitter-nya, narasi-narasinya, sebagai contoh narasinya yang dibunyikan ada korban pemuda Papua yang terbunuh, yang tertembak, kemudian ada konten-konten bersifat provokatif, ya. Untuk mengajak, apa namanya, merdeka dan lain sebagainya itu. Sudah dilacak dari awal,” kata Dedi.

Kini, atas perbuatannya itu tersangka pun dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 160 KUHP, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Penghapusan Suku, Etnis dan Ras. (Fin)

Tinggalkan Balasan